Hai Gen Z! Tahukah kamu kalau persatuan Indonesia itu pernah diuji di menit-menit paling krusial sebelum kita merdeka? Kenapa Pancasila yang kelihatan "tetap" ini, justru sangat fleksibel dan relevan buat kita yang hidup di era polarisasi? Hari ini, kita akan belajar dari satu momen ajaib: Peristiwa Piagam Jakarta.
Tepatnya tanggal 22 Juni 1945, sembilan tokoh terbaik bangsa (Panitia Sembilan) merumuskan Pembukaan UUD. Hasilnya adalah Piagam Jakarta. Di situ, ada embrio lima sila, tapi ada satu kalimat yang jadi perdebatan besar, yaitu di sila pertama: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Tujuh kata ini memicu keberatan. Sehari setelah Proklamasi, 18 Agustus 1945, perwakilan dari Indonesia bagian Timur menyampaikan bahwa tujuh kata itu bisa memicu perpecahan dan diskriminasi. Mereka, yang mayoritas non-muslim, merasa keberatan. Dalam situasi genting di mana negara baru lahir, Bung Hatta dan para pendiri bangsa harus memilih: Ego Kelompok atau Persatuan Bangsa.
Dan mereka memilih yang kedua. Tujuh kata itu dihapus dan diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa." Ini adalah manifestasi luar biasa dari dua sila: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Persatuan Indonesia. Nilai yang tercermin adalah Musyawarah Mufakat dan Kenegarawanan yang sangat tinggi.
Lalu, apa pelajaran buat kita, Gen Z? Pelajaran terbesarnya adalah semangat kompromi! Para pendiri bangsa kita berani "mengalah" demi tujuan yang lebih besar: Indonesia Utuh. Di era digital, di mana polarisasi politik gampang banget terjadi, dan kita sering terjebak dalam echo chamber atau keyboard war...
Kita harus meniru nilai itu. Belajarlah berdialog dengan bijaksana, bukan memaksakan kebenaran mutlak. Prioritaskan Persatuan Indonesia di atas ego pribadi atau kelompok. Karena persatuan bukan hanya di lapangan, tapi juga di komentar media sosial kita. Yuk, jadi generasi yang berani berkompromi demi Indonesia yang lebih baik! Sampai jumpa!
